MUDIK
, MARI PULANG KE UDIK, DAN SILATURAHIM
Oleh
: Dail Ma’ruf, M.Pd
Dasar Pemikiran Mudik.
Dalam al Qur’an kita diperintahkan
untuk selalu taat kepada Allah SWT,
rosulnya dan pemimpin. Pada ayat lain dalam surat Lukman Allah SWT perintahkan
kepada semua manusia untuk berbakti kepada kedua orang tua. Bahkan dalam hadits, ridla Allah tergantung
pada keridloan orang tua, demikian pula murkanya Allah amat tergantung pada
murka keduanya. Dalam tafsir ayat dan hadits di atas, dapat dipahami bahwa ajaran
Islam sudah mengatur segala hal terkait kehidupan manusia, bukan hanya terkait
kehidupannya di dunia, bahkan kehidupan setelah kita meninggalkan alam dunia
pun sudah dibuat aturannya. Dalam kaitannya dengan fenomena mudik tahun 2022
yang sedang ramai dibicarakan pada saat naskah ini dibuat, muncul pertanyaan
apakah mudik itu, dan dari mana asal mula mudik ini?.
Ijinkan saya untuk memperkenalkan diri sendiri. Nama
saya Dail Ma’ruf tinggal di Kota Serang
Provinsi Banten. Saat ini saya bekerja sebagai praktisi Pendidikan
sebagai Ketua Yayasan Semesta Alam Madani ( YASALAM ). Dalam kegiatan literasi
diamanahkan sebagai Kabid Literasi Ikatan Keluarga Alumni Yayasan Asrama Pelajar
Islam baca IKA-YAPI. Untuk menjawab pertanyaan ini, memang tidak ada yang tahu secara pasti asal
mula mudik dan rupanya hanya di Indonesia yang mudik ini menjadi budaya
nasional. Saat saya masih mahasiswa, terkait mudik ini, selama 3 tahun tidak
pernah mudik sebelum lebaran baik Idul Fitri maupun Idul Adha.
Bukan karena tidak punya ongkos untuk mudik, karena aturan di asrama YAPI yang bernama Asrama Sunan Gunung Jati ( ASGJ ) mensyaratkan siap jadi panitia sholat Ied Jakarta Timur yang semua panitianya adalah warga ASGJ. Kami yang tinggal di asrama tersebut jumlahnya sekitar 13 orang, menjadi tim solid untuk suksesnya acara sholat ied. Sekali selama tinggal di ASGJ saya berkesempatan menjadi ketua PHBI dan menyampaikan laporan kegiatan di atas podium di hadapan ribuan jamaah Didihadiri Wali Kota Jakarta Timur, Kapolres Jakarta Timur, Para Tokoh Masyarakat, Para Kiyai, Ustadz dan kaum muslimin muslimat yang hadir di lapangan Urip Sumiharjo Jatinegara. Menjadi moment indah tak terlupakan bagi saya, menunjukan kebenaran bahwa pengalaman itu adalah guru yang paling berharga.
Mudik Budaya atau Ajaran Islam
Bagi saya mudik itu artinya mau ke
udik atau mau ke kampung. Jadi mudik ini dilakukan orang kampung yang pergi
merantau ke kota untuk bekerja. Setahun sekali mereka pulang ke kampung
halamannya. Mudik dilakukan pada saat lebaran Idul Fitri. Selama 12 bulan
mencari nafkah di kota dan pada moment istimewa lebaran idul fitri, mereka
pulang kampung untuk berkumpul bersama kedua orang tua dan keluarga besarnya. Merayakan
kemenangan setelah sebulan penuh berpuasa Ramadhan. Sungguh menjadi sebuah
peristiwa yang membahagiakan sekaligus mengharukan.
Pertanyaannya adalah apakah mudik itu
ajaran Islam?. Jawabannya bukan. Lantas mengapa di Indonesia sangat monumental
peristiwa mudik ini ?. Setiap mudik lebaran pemberitaannya selalu viral hampir
sebulan secara nasional?. Analisa dari saya, tentu bersifat pribadi, karena mudik sudah menjadi budaya. Sehingga sudah mengakar dalam hati dan
pikiran kolektif mayoritas bangsa Indonesaia bahwa mudik lebaran itu merupakan
sesuatu yang harus dilakukan. Apapun keadaannya dan bagaimanapun caranya, yang
utama, bila lebaran tiba, maka bagi perantau yang ke kota dari kampungnya harus
mudik, titik.
Jika diamati lebih jauh dari historis,
NKRI yang memang secara kewilayahan
sangat luas dan tersebar di pulau-pulau, faktanya hingga reformasi tahun 1998,
pembangunannya sangat sentralistik atau berpusat di beberapa kota saja. Seakan
yang dimaksud dengan kota hanyalah Jakarta, Surabaya, Semarang, Bandung, Bali,
Makassar dan Manado, Balikpapan dan Samarinda, serta Medan dan Padang. Dari
kota-kota tersebut yang jadi sentral utamanya adalah Jakarta, dari seluruh
pelosok negeri anak bangsa berlomba ke Jakarta dan mengadu nasibnya di ibu
kota.
Sampai-sampai ada semacam pepatah
orang Medan yang menyatakan bahwa merantaulah kau ke Jakarta dan taklukan ganasnya
Ibukota, kemudian jangan kau Kembali bila belum sukses. Tentu pada umumnya
ukuran sukses tersebut adalah materi. Alhamdulillah pasca reformasi ada
semangat baru dalam membangun NKRI dari sentralistik menjadi desentralisasi
atau pemerataan pembangunan hingga ke desa-desa. Bahkan saking seriusnya
menggenjot ketertinggalan pembangunan daerah sampai dibuat kementrian desa, dan
permbangunan daerah tertinggal. Dana untuk mensukseskan program pembangunan
desa pun ditetapkan 1 milyard perdesa/ tahun.
Buahnya kita bisa rasakan bahwa saat
ini di jalan perkampungan pun sudah merata jalan coran yang bagusnya sama
dengan di perkotaan. Semoga dengan banyaknya pembangunan di daerah atau desa,
maka para perantau yang dulu hanya fokus bekerja di kota, saat ini bisa mendapatkannya
di daerah atau desanya.
Heroisme Mudik dan Ironinya
Semangat atau heroisme mudik
sampai hari ini masih sangat kuat di bangsa kita, meskipun ada yang mulai memandang mudik tak harus
lebaran, namun hanya sebagian kecil dari bangsa yang berpandangan demikian.
Jika ukurannya adalah kebahagiaan dan keseruan, pasti semua orang perantau akan
melakukan mudik lebaran dengan berbagai upaya, bahkan pada keputusan harus
pinjam atau berhutang sekalipun. Karena kawatir akan mengecewakan orang tua dan
keluarga di kampung. Dan lebih dari itu, malu jika dianggap gagal merantau,
untuk mudik pun tak sanggup. Katakutan akan distigma demikian menjadikan
sebagian kita memaksakan diri untuk tetap mudik meskipun dengan memperbesar
hutang dan menambah beratnya bebah hidup di masa depan.
Kemacetan selama di perjalanan baik
jalur darat, laut maupu udara, serta
panjangnya antrian plus berdesakan dengan sesama pemudik bukan dipandang sebagai
sesuatu yang membuat menderita bahkan dinikmati dan dipahami sebagai keseruan
yang membahagiakan. Inilah ironi bangsa ini yang sekaligus menjadi keunikan.
Bagaimana pun kita tetap harus menghargai para pemudik yang niatannya tulus
untuk bisa ketemu orang tua dan keluarga besar di kampung halamannya. Namun
bagi yang sudah tercerahkan, bahwa mudik bisa kapan saja, akan menjadi simple
dan menjadikan murah biayanya. Sisa anggaran mudik bisa untuk uang pangkal anak
masuk sekolah atau kuliah, namun sekali lagi ini hanya pendapat pribadi. Sayatahun
ini tidak mudik karena sebelum Ramadhan pun sudah mudik, mudik dari Serang
Banten ke Dlanggu Klaten Jawa Tengah. Ada kebutuhan yang lebih mendesak
sehingga kami mengutamakan untuk sekolah anak dan insya Allah akan mudik
setelah bagi rapor PTS saja di tahun pelajaran 2022/2023.
Tak Mudik Karena Pandemi dan Pasca Pandemi
Terjadinya Pandemi Covid 19 sejak
2019 menjadikan kita orang Indonesia tak bisa mudik pada umumnya. Aturan PSBB
dan ketakutan akan bahaya penyebaran virus Corona yang mematikan menjadikan
kita memilih tidak mudik saat lebaran. Segumpal rindu pada keluarga di kampung
menggunung, saat berdo’a maka setiap kita bermunajat pada Allah SWT agar Corona
segera sirna. Tahun 2022 ini ada kelonggaran karena Pandemi sudah menjadi Endemi.
Meski tetap harus waspada, namun imunitas komunal sudah terbentuk sehingga
mudik pun diperbolehkan.
Pasca pandemi Covid 19 ini akan banyak orang mudik untuk meluapkan segala kerinduan yang tertahan selama 3 tahun silam. Semoga kebahagiaan memenuhi hati dan pikiran para pemudik sehingga segala perjuangan dan pengorbanannya untuk bisa mudik terbayarkan dengan kebahagiaan bisa berpelukan dengan keluarga dan teman sekampung. Mudik memang “ sesuatu banget “, sebuah peristiwa tahunan yang keseruannya sulit diungkapkan dengan kata -kata dan tak bisa digambarkan dan diuraikan dengan tulisan. Hanya bisa dirasakan dengan hati dan dinikmati dengan pikiran. Keindahan mudik bagaikan pengalaman sosial dan spiritual yang tiap orang akan punya pengalaman dan kesan yang berbedan satu dengan lainnya.
Bijak
dalam Menyikapi Mudik
Meriahnya acara mudik lebaran yang
terjadi sekali setahun pada moment Idul Fitri menjadi kekhasan bangsa Indonesia.
Menghilangkan mudik lebaran tidak
mungkin dapat dilakukan, upaya kita paling sebatas meminimalisir dengan edukasi
dan diskusi bahwa mudik yang terjadi sejak Indonesia merdeka bahkan mungkin
sejak zaman Kolonial Belanda, faktanya bukanlah ritual ibadah yang disyariatkan
agama Islam dan hanya budaya.
Jika tujuan utama mudik adalah untuk
silaturahmi dengan orang tua dan keluarga di kampung halaman, faktanya kita bisa
melakukannya kapan saja dan tak harus pada moment lebaran Idul Fitri saja.
Kalau perlu dan mampu, malah mudik ini jangan hanya sekali setahun, bisa tiap
bulan, tiga bulan sekali, satu semester sekali,dan setterusnya. Karena
sejatinya silaturahim dengan orang tua dan keluarga itu sesering mungkin agar
mendapatkan banyak pahala di sisi Allah SWT. Bukankah memuliakan orang tua dan
silaturahim dengan keluarga merupakan ibadah yang bernilai pahala?.
Tetaplah
bahagia bagi para muslimin muslimat yang tahun ini bisa mudik, dan jangan
bersedih hati bagi yang tak bisa mudik dengan berbagai pertimbangannya. Semoga pasca
lebaran pun tetap diberikan umur panjang dan kesehatan sehingga bisa mudik dengan
nyaman dan ekonomis, meski tak akan seseru mudik lebaran pada hari raya. Saya akhiri
“ Taqobbalallahu Shiyaamana Wa shiyamakum Minal Aidzin wal faidzin “, Mohon
Maaaf lahir dan batin.
Nama
lengkap Dail Ma’ruf, M.Pd akrab
disapa Dail, lahir di Serang 43 tahun yang lalu dari pasangan H. Muhamad Nur
dan Hj. Juhariyah. SD dan SMP di Tunjung Teja, SMA di MAN 2 Serang lulus tahun
1996. Masuk IKIP Jakarta jalur PMDK jurusan Pendidikan Bahasa Arab dan lulus
tahun 2003 setelah kampusnya menjadi UNJ. Semasa kuliah tinggal di Asrama Sunan
Gunung Jati di Jl. Bunga No. 21 Matraman Jakarta Timur, terlibat dalam aksi
reformasi 1998 sebagai aktivis HMI-MPO Cabang Jakarta.
Menikah
dengan Ari Murwanti, SKM dan dikaruniai dua anak, Rida Naila saat ini kelas XII
di MAN 2 Kota Serang, dan Farhan Ali kelas VI di SD Islam Al Azhar 10 Serang. Lulus
S2 jurusan MIPA dari UNINDRA Jakarta lulus 2013, mengulang S1 PGSD karena mengajar
di SD Al Azhar Serang lulus 2018 dan sudah lulus PPG tahun 2022. Saat ini
merintis Sekolah YASALAM di kota Serang sebagai ketua Yayasan, mohon doa dari
pembaca semua.
Buku
solo baru 1 sebagai syarat lulus kelas belajar menulis berjudul Jurus Jitu
Menjadi Penulis Bermutu, dan buku antologi lebih dari 30. Menjadi Kurator 10
judul buku, Editor 3 buku, dan memberi kata pengantar di 2 buku. Buku yang digarap
saat ini ada Jilid 4 Guru hebat, Derap Langkahku di Asrama YAPI, dan beberapa
buku solo dari teman kelas belajar menulis PB PGRI asuhan Om Jay. Semangat
terus untuk membaca dan menulis. SALAM LITERASI.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar